Tumpek Wariga dan Pelestarian Lingkungan

21 Agustus 2021
I Wayan Gunawan
Dibaca 675 Kali
Tumpek Wariga dan Pelestarian Lingkungan
Tumpek artinya hari Saniscara (Sabtu) Kliwon, sedangkan wariga adalah nama wuku yang ke 7. Tumpek wariga jatuhnya tepat pada hari Saniscara Kliwon wuku Wariga sering disebut tumpek uduh, bubuh, pengatag, pengarah. Tumpek Wariga merupakan hari otonan tumbuh-tumbuhan dengan proses upacara dan upakara tertentu untuk memuja Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa Sangkara mohon agar tumbuh-tumbuhan berbuah dan tumbuh subur seperti yang dise-butkan dalam Sundarigama:

"Wariga saniscara kliwon ngaran panguduh puja wali Sang Hyang Sangkara, apan sira amrtaken sarwaning tumuwuh, kayu-kayu kunang widhi widhanya : Pras tulung, sesayut, tumpeng, bubur mwang tumpengagung iwaknya guling bawi, itik wenang, saha raka, panyeneng tetabuh. Kalinganya anguduh ikang awoh mwang godong dadya pamrtaning hurip ring manusa, sesayut cakragni. Kalinganya anuduh kna adnyana sandhi".

Terjemahannya:

Wuku wariga yakni pada hari Saniscara Kliwon disebutlah hari panguduh, suatu hari untuk memuja Sanghyang Sangkala sebab beliaulah yang menciptakan segala tumbuh-tumbuhan termasuk kayu-kayuan. Adapun upakaranya peras, tulung, sesayut, tumpeng bubur dan tumpeng agung dengan daging babi atau itik diguling. Baik pula disertai raka-raka (jajan dan buah-buahan) penyeneng, tetebus dan sesayut caleragni. Adapun bebanten tersebut diatas ialah : mendoakan semoga atas rahmat Hyang Widhi maka segala tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh subur, lebat buahnya bersemi dan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia dalam ketemtraman hati serta kesejahteraan lahir batin.

Tumpek Wariga merupakan awal dari rangkaian Hari Raya Galungan. Umat Hindu melakukan sujud sembahbhakti kehadapan-Nya karena berkat rahmat dan anugerah Beliaulah yang menguasai ciptaannya, tumbuh-tumbuhan ada dan dimanfaatkan oleh umat Hindu.

Mengenai Tumpek Wariga dilaksanakan secara turun-tumurun dari dahulu mungkin pra Hindu sudah ada. Ditinjau dari segi sejarah khususnya pada zaman mulai bercocok tanam manusia sudah berkembang hidup bertani. Sejak itu pun manusia sudah percaya akan adanya kuasa gaib yang menguasai tumbuh-tumbuhan atau pepohonan yang sering kita sebut Dinamisme. Kemudian ketika zaman Hindu disempurnakan lagi melalui sumber-sumber sastra guna memperkuat dan merawat iman umat Hindu.

Tumpek Wariga Kaitannya Dalam Pelestarian Lingkungan

Manusia merupakan faktor terpenting dalam usaha pelestarian lingkungan. Hubungan manusia hendaknya harmoni dengan lingkungan alam (palemahan) Tumpek Wariga memberikan cerminan pada umat Hindu agar lingkungan alam dilestarikan, karena manusia tidak bisa hidup tanpa lingkungan alam. Dalam melestarikan lingkungan hari Tumpek Wariga memberi arti, fungsi dan makna yang patut kita lakukan dalam tindakan nyata. Hubungan manusia dengan lingkungan bagaikan rantai saling membutuhkan. Seperti yang disebutkan dalam Bhagawadgita III. 14 "Dari makanan makhluk menjelma dan dari hujan lahirnya makanan dan dari yadnya muncullah hujan dan yadnya lahir dari pekerjaan".

Lingkungan alam juga mempengaruhi eksistensi manusia Alam yang panas, dingin, sejuk, polusi dan sebagainya dapat mempengaruhi hidup manusia bahkan sampai karakter (kejiwaan) manusia itu. Maka dari itulah perlu mengenali diri sendiri dalam hubungannya dengan lingkungan alam.

Perayaan Tumpek Wariga memberi hakekat bahwa manusia harus serasi dengan alam dan jangan sampai terasing akan dirinya dan lingkungan alamnya. Untuk itulah alam ini perlu dilestarikan karena begitu banyak dan mulianya pemberian lingkungan alam pada diri kita. Dapatlah dibayangkan bagaimana kalau hidup manusia tanpa tumbuh-tumbuhan, pohon, buah-buahan. Begitu banyak sesuatu yang telah diberikan alam pada diri kita demi kesehatan dan kesejahteraan mental jasmani.

Dalam Rg Veda 1.90 6-3 disebutkan betapa indah dan bahagianya apabila kita serasi dan mampu melestarikan alam. Untuk dia yang hidup mentaati rta Angin akan penuh rasa manis Sungai mencerahkan rasa manis Begitu pula pohon-pohonan penuh rasa manis untuk kita. Malam terasa manis begitu pula fajar. Debu bumipun terasa manis. Manislah Bapa langit bagi kita. Semoga kayu hutan penuh rasa manis bagi kita Penuh manis matahari Dan penuh manis sapi bagi kita.

Dalam pelaksanaan upacara Tumpek Landep ada suatu tradisi lokal khususnya di Bali yang sangat erat kaitannya dengan pelestarian lingkungan seperti yang disebutkan dalam sesontengan/saha (puja) yaitu kurang lebih "Kaki kaki tiang mapangarah buin slai (25) dina Galungan mabuah nged, nged, nged". Hal ini menunjukkan bahwa umat Hindu khususnya di Bali sudah punya konsep pelestarian agar apa yang ditanamnya dan lingkungan alamnya dapat memberikan kesejahteraan yang selalu dihubungkan dengan keberadaan Tuhan. Di samping itu pula ada tradisi lokal seperti hutan dipandang sesuatu yang tenget (angker) karena konon disana ada penghuninya. Kemudian apabila menebang pohon hendaknya ujung dari pohon yang ditebang ditancapkan kembali diatas tebangan pohon tersebut.

Ada pula bila hendak menanam tumbuh-tumbuhan menggunakan hari baik dan buruk yang sering disebut dewasa nandur. Hal ini menunjukkan bahwa umat Hindu bukan hanya menikmati hasil dari tumbuh-tumbuhan tapi ia juga melestarikannya. Konsepnya adalah menanam (utpeti), memelihara (stithi), memanen (pralina) bersiklus bak rantai makanan.

Disamping tradisi lokal banyak pula karya sastra yang lahir dari keindahan dan keagungan alam. Para kawi sastra memuja memuji seperti kakawin Rasmi Sancaya, Ramayana dan lainnya. Ini menandakan bahwa lingkungan alam yang indah lestari menjadi inspirasi dalam menyusun karya sastra yang nantinya dapat dijadikan pegangan dalam tata cara beragama dalam upaya pelestarian lingkungan. Lahir pula lontar-lontar yang terkait dengan pelestarian lingkungan yang erat hubungannya dengan pertanian seperti lontar Sri Tattwa, Dharma Pamacul.

Namun akhir-akhir ini masalah lingkungan alam sangatlah memprihatinkan, tidak hanya cukup prihatin perlu langkah nyata untuk melestarikan kembali dari berbagai pihak. Pengaruh industrialisasi menyebabkan manusia kadang-kadang terasing akan dirinya sendiri dan lingkungannya. Sehingga dia lupa akan hubungannya dengan memberi sesuluh agar umatnya eling alam lingkungan yang condong akan keberadaan Hyang Widhi dalam merusaknya.

Tumpek wariga memberikan suatu konsep harmoni antara manusia dengan alamnya. Tumpek wariga memberi sesuluh agar umatnya eling akan keberadaan Hyang Widhi dalam segala aspek kehidupan sehingga ras bhakti untuk berkarma melestarikan lingkungan terwujud dalam tindakan nyata.

Source: I Nyoman Dayuh l Warta Hindu Dharma NO. 478 Nopember 2006